Selasa, 28 Januari 2014

Sejarah Desa Widarasari



Sejarah Desa Widarasari
Widarasari adalah nama sebuah desa yang kental dengan nuansa sejarah peradaban islam, dan juga sejarah perjuangan penjajahan jepang dan DI TII, konon menurut cerita kesepuhan mantan pejuang daerah setempat atau sesepuh daerah setempat, Widarasari atau dulu Cikubangsari karena sekarang sudah menjadi desa pemekaran dulu lebih dikenal dengan sebutan Desa Cipedes atau Widarasari dan Cikubangsari (gelar berdasarkan legenda seorang wali asal Cirebon).
Menurut cerita lain nama Cipedes berasal dari dua kata yaitu Ci yang berarti “air” atau “Cai” (dalam bahasa sunda) dan pedes yang berarti “pedas” atau dalam bahasa sunda “lada”. Nama itu konon dahulu pada masa penjajahan jepang diambil dari sebuah mata air yang ada di daerah tenjo laut (dalam bahasa sunda) wilayah paling barat desa Widarasari. Konon, mata air itu adalah mata air pedas yang tidak tahu bagaimana asal usulnya kenapa mata air itu bisa berbeda dengan mata air yang lainnya. Tetapi, sekarang mata air itu sudah menghilang tidak tahu bagaimana kejadiannya.
Menurut cerita lain juga nama Cipedes diambil dari penduduk daerah itu sendiri karena konon katanya warga masyarakat cipedes jika terjadi suatu masalah atau sedikit perselisihan di daerah itu warga masyarakat desa setempat suka cepat memanas bahkan sering terjadi konflik akibat suatu masalah itu, meskipun masalah itu masalah kecil. Sehingga akhirnya karena perilaku penduduk daerah setempat yang memiliki watak sperti itu kemudian dipakai menjadi sebuah nama daerah ini atau cipedes ini. Sampai sekarang warga masyarakat setempat belum tahu bagaimana latar belakang yang sebenarnya kenapa nama desa ini dahulu diberi nama Cipedes. Sebab, sesepuh warga daerah setempat ini sudah tua atau bahkan tidak sepenuhnya ingat tenteng asal usul Desa Widarasari ini yang dahulunya Cipedes. Mungkin, karena factor usia juga yang menyebabkan sebagian memori ingatannya hilang. Namun sebagian besar warga daerah/desa setempat lebih membenarkan dengan keadaan penduduk yang dahulu jika ada masalah kecil warga daerah setempat suka cepat memanas yang kemudian diambillah nama desa ini dengan nama Desa Cipedes.
Desa Widarasari ini konon katanya dahulu pernah dilewati oleh salah seorang wali sanga asal Cirebon yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati konon katanya dia berangkat dari Cirebon untuk menyebarkan agama islam ke wilayah Kuningan hingga akhirnya melewati daerah Widarasari ini, dia menyebarkan agama islam dengan melanglang buana atau berjalan kaki hingga akhirnya Sunan Gunung Djati merasa sangat lelah yang kemudian beliau beristirahat di sebuah tanjakan yang dahulu dipenuhi pohon-pohon bambu, beliau beristirahat disana dan membuka perbekalan yang berisikan daging ayam beserta yang lainnya, hingga akhirnya Sunan Gunung Djati pun memakan daging ayam itu kemudian setelah selesai memakannya, tulang belulang ayam itu ditinggalkannya di tanjakan itu, kemudian sampai sekarang tanjakan itu masih ada dan terkenal dengan sebutan tanjakan tulang hayam (dalam bahasa sunda).
A.    Perkembangan Peradaban Islam
Dahulu Cipedes (Widarasari & Cikubangsari) ini merupakan sasaran utama penjajahan jepang dan oknum DI TII karena di Cipedes ini disinyalir sebagai tempat pengungsian warga desa lain yang paling aman sehingga mereka khawatir akan terlahir kekuatan yang begitu besar dari daerah Cipedes ini. Kekhawatiran mereka semakin menguat, karena terbukti puluhan pejuang yang bertugas sebagai pagar betis di kawasan Gunung Ciremai, ternyata pejuang relawan yang terlatih yang berasal dari daerah Cipedes. Sejarah peradaban islam pun sangat dominan di Cipedes, karena menurut cerita kesepuhan, Islam disana lebih dahulu dibandingkan dengan sebagian besar penduduk kabupaten kuningan, karena Cipedes mendapat perhatian istimewa dari kesultanan Cirebon. Sehingga diutuslah beberapa orang ulama berderajat wali untuk membina pesanggrahan Cipedes sekaligus berdakwah menanamkan benih-benih aqidah islam di Cipedes atau Widarasari dan Cikubangsari ini.
Perkembangan islam di daerah Cipedes ini terlihat dengan berdirinya suatu lembaga pendidikan atau pesanggrahan. Lembaga ini berdiri dan mulai dirintis pada pertengahan tahun 2001 silam tahun hijriyahnya yaitu 1422 H, atas anjuran sang Guru “K.H. Yahya Abdul Malik” pada awalnya madrasah ini hanya sebuah lembaga pendidikan anak-anak Al-Qur’an yang non formal, dan setelahnya ada izin dari sang Guru maka di bangunlah sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren dengan fasilitas seadanya Asrama Santri pun sangat sederhana, alasannya di samping dana yang terbatas juga sengaja untuk mengingat dan merawat budaya tradisional kejawaan, yaitu “agung dalam kelakuan, sederhana dalam penampilan” yang terpenting ialah sesuai dengan jalur yang dipakai yaitu “Salafiyah Syafiiyah”. Syafiiyah berarti kami ahlussunah waljamaah yang bermadzhab syafii, Salafiyah ialah tapaulan dari kami yakni berharap kepada allah agar diberikan kekuatan dalam mengikuti dan mengamalkan jalur pendidikan ulama salaf, ulama-ulama terdahulu yang setia mengikuti sunah rasul dengan sebaik-baiknya niat dan perbuatan. Sehingga akhirnya lembaga ini masih berjalan sampai sekarang akan tetapi tidak seramai dahulu santri-santrinya, karena santri-santrinya banyak yang meneruskan pendidikan ke daerah jawa. Tetapi, santrinya sampai sekarang masih ada meskipun tidak seramai dahulu. Perkembangan islam di daerah ini atau Cipedes ini juga terlihat dengan pembangunan banyak mushola atau langgar (dalam bahasa sunda) yang dilakukan di wilayah ini, dahulu mushola atau langgar di Desa Cipedes ini amat sedikit itu terjadi karena agama islam masih dalam tahap perkembangan. Tetapi, sekarang perkembangan itu terlihat pesat karena bnyak sekali mushola yang ada bahkan setiap kampong sudah memiliki mushola atau langgar. Mushola atau langgar itu digunakan warga setempat yang ada di sekitar mushola itu untuk melakukan peribadaha, meskipun ada sedikit yang masih melakukan ibadah di rumahnya. Namun, setelah adaanya mushola warga setempat lebih memanfaatkannya untuk ibadah bersama warga sekitarnya. Disamping melakukan ibadah warga sekitar juga merasakan adanya hubungan silaturahmi yang dekat dengan warga yang lainnya. Selain banyak dibangunnya mushola di daerah Cipedes ini juga terlihat perkembangan islam dalam pembangunan Pondok Pesaantren, selain pondok pesantren di atas, sekarang di daerah Cipedes ini terdapat beberapa Pondok Pesantren lagi diantaranya Pondok Pesantren Miftahul Falah, dan pondok pesantren pimpinan K. Uyat Dimyathi yang berada di kampung manis daerah Cipedes ini. Santri-santri yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Falah dulu santrinya datang dari mana-mana diantaranya dari daerah Cirebon, Cipancur, Darma, dan dari daerah lainnya. Selain santri-santri belajar mengaji, di Pondok Pesantren yang lainnya juga terdapat kegiatan lainnya yaitu seperti belajar Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), kasidah/Genjringan (dalam bahasa sunda), bahkan ada yang mengadakan kegiatan belajar bela diri atau pencak silat untuk santri-santrinya. Itulah sedikit perkembangan peradaban islam di Widarasari ini yang terlihat sampai sekarang.
B.     Desa yang dimekarkan
Daerah Widarasari ini adalah desa yang dulunya bersatu dengan dengan desa Cikubangsari dengan nama Cipedes. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan Desa Widarasari berpisah dengan Cikubangsari. Latar belakang yang menyebabkan Desa Cipedes diganti nama desanya konon menurut sesepuh desa setempat cipedes diganti namanya karena dahulu jika ada surat dari kabupaten atau pusat pemerintahan atau bahkan dari luar kota kuningan untuk Desa Cipedes (Cikubangsari dan Widarasari) suka tertukar untuk Desa Cipedes yang berada di daerah Ciniru, begitupun sebaliknya jika surat itu ditujukan untuk Desa Cipedes (Ciniru) itu diserahkannya ke Desa Cipedes (Cikubangsari dan Widarasari) ini. Oleh sebab itu, nama Cipedes ini diganti menjadi daerah yang sekarang Desa Cikubangsari dan Widarasari.
Sedangkan latar belakang Desa Widarasari dipecahkan atau berpisah dari Desa Cikubangsari menurut orang-orang daerah setempat yaitu karena dahulu Desa Cikubangsari terlalu luas sehingga apabila ada informasi dari Pemerintahan Desa informasi itu kurang cepat menyebar kepada warga-warga. Kedua, yang melatar belakanginya yaitu ketika semua warga laki-laki yang akan melaksanakan ibadah shalat jumat jarak ke masjid Desa terlalu jauh, karena dahulu untuk menuju masjid itu harus berjalan kaki berbeda dengan sekarang yang sudah banyak alat transportasi. Sehingga pada akhirnya Desa Widrasari ini berpisah atau dimekrkeun (dalam bahasa sunda) dari Desa Cikubangsari, itulah latar belakang Desa Cikubangsari dipisahkan menjadi dua dengan nama yang satu tetap Cikubangsari sedangkan yang kedua menjadi Desa Widarasari ini.
C.    Pemerintahan
Desa Widarasari dilihat dari statusnya sebagai sebuah desa maka sistem pemerintahannya dipimpin oleh seorang kepala desa atau lebih dikenal dengan sebutan kuwu, dengan perangkat lainnya yaitu rurah,ngabihi,sekdes dan yang lainnya. Suatu Kepala Desa atau kuwu dipilih oleh semua masyarakat yang tinggal di wilayah atau daerah setempat, pemilihan itu berlangsung seperti pemilihan-pemilihan lainnya seperti pemilihan bupati, presiden dan yang lainnya. Kepala Desa akan menjadi pemimpin apabila dalam pemilihan tersebut sang calon mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat setempat. Desa Widarasari ini terdiri dari 3 kampung atau blok,  diantaranya Kampung Pahing, Kampung Puhun dan Kampung Manis dan Desa widarasari ini terdiri dari 09 RT. Orang-orang yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa atau kuwu di wilayah ini sebelum dimekarkan/dipecah dan sesudah dimekarkaan menjadi Desa widarasari ini diantaranya :
1.      Masa pemerintahan kuwu Masdaer
2.      Masa pemerintahan kuwu Jaya Santana
3.      Masa pemerintahan kuwu Karta Santana
4.      Masa pemerintahan kuwu Syamsuddin
5.      Masa pemerintahan kuwu Suminta
6.      Masa pemerintahan kuwu Supriadi Jaya
7.      Masa pemerintahan kuwu darlan (sekarang)

D.    Batas Wilayah
Batas wilayah Desa Widarasari meliputi :
·         Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sindang barang
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikubangsari
·         Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cilaja
·         Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Taraju

E.     Perekonomian
Sebagian besar penduduk Desa Widarasari bermata pencaharian sebagai petani, karena wilayah Desa Widarasari sebagian besar wilayah pertanian dengan bercocok tanam seperti padi, jagung, sayuran dan yang lainnya. Desa Widarasari ini memiliki lahan yang sebagian besar tanah atau lahan produktif yang bisa menghasilkan hasil pertanian yang bagus. Sebagian besar di Desa Widarasari ini memiliki tanah pertanian miliknya sendiri sehingga bisa mengolah pertaniannya itu. Namun, petani yang lainnya hanya bertani di tanah atau lahan pertanian milik orang lain atau di sebut sebagai petani molah (dalam bahasa sunda), petani molah artinya petani yang bekerja untuk mengurus lahan pertanian milik orang lain, biasanya pemolah tersebut mendapatkan keuntungan setengahnya dari hasil pertaniannya itu. Sedangkan sisanya penduduk Desa Widarasari ada yang bekerja sebagai PNS, pegawai swasta, buruh atau pekerja bangunan, pedagang dan yang lainnya banyak yang merantau di kota-kota besar. Penduduk yang lain yang bekerja sebagai buruh bangunan itu karena di Desa ini mereka tidak memiliki lahan pertanian atau tidak mempunyai keahlian dalam bertani dank arena himpitan ekonomi mereka memutuskan untuk bekerja menjadi buruh bangunan itu. Sedangkan yang merantau ke kota-kota besar selain buruh bangunan mereka mencoba memanfaatkan keahlian mereka untuk bekerja mengadu nasib di kota itu.

F.     Perkembangan Kebudayaan di Desa Widarasari
Desa Widarasari memiliki budaya yang hampir sama dengan desa-desa lainnya di kecamatan Kramatmulya yang memiliki budaya antara lain seperti acara tahlilan, tujuh bulanan, mencukur bayi yang baru lahir, mauled Nabi Muhammad SAW dan masih banyak yang lainnya, dalam acara mauled nabi sudah terlihat perkembangan kebudayaan di daerah ini yang dahulu jika acara mauled Nabi setelah bershalawat warga hanya disediakan makanan seadanya atau alakadarnya. Namun, sekarang selain disediakan makanan seadanya orang-orang pulangnya diberikan makanan dalam kantong kresek ataua berkat (dalam bahasa sunda), berkat itu adalah hasil buatan warga daerah setempat baik itu setiap rumah ada yang membuat 3 bahkan ada yang membuat bnyak berkat untuk acara mauled Nabi itu.
Perkembangan kebudayaan lainnya terlihat pada system pertanian yang dahulu orang-orang atau petani membajak sawah itu menggunakan kerbau, sedangkan sekarang mereka sudah menggunakan alat modern yaitu mesin traktor. Meskipun ada sebagian penduduk yang masih menggunakan kerbau, mungkin karena faktor biaya yang harus digunakan untuk mrnyewa dan membayar traktor itu. Orang-orang dahulu menggunakan lesung untuk menumbuk atau menghasilkan beras, sekarang sudah lebih modern dengan menggunakan mesin penggilingan padi. Masih banyak perkembangan kebudayaan lainnya yang ada di daerah Widarasari ini, perkembangan kebudayaan ini terjadi karena beberapa faktor dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih yang lebih mempermudah warga untuk melakukan aktifitasnya.
Perkembangan yang lainnya terlihat pada perubahan penduduk yang menggunakan tungku dan mencari kayu bakar ke hutan atau bubulak (dalam bahasa setempat), warga Desa Widarasari menggunakan golok untuk mencari kayu bakar atau untuk menebang pohon itu. Berbeda dengan sekarang yang sudah mengalami perkembangan, warga daerah setempat sudaah terlihat menggunakan mesin penebang pohon atau gergaji mesin untuk mempermudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Faktor-faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan kebudayaan di suatu daerah yaitu diantaranya :
1.      Faktor Intern
a.       Perubahan penduduk
Perubahan penduduk menjadi factor yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan, karena dengan bertambahnya penduduk atau perubahan penduduk warga daerah setempat juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah setempatnya.
b.      Adanya penemuan baru oleh warga masyarakat itu sendiri atau bahkan dari masyarakat luar yang dulu tidak ada sekarang ada (discovery), penyempurnaan penemuan baru (invention), dan mengganti budaya yang telah ada (innovation).
c.       Konflik yang terjadi di daerah atau masyarakat itu.

d.      Revolusi atau perubahan secara cepat
Revolusi atau perubahan secara cepat terjadi di suatu wilayah karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan atau pemikiran yang tinggi maka tidak mustahil bisa menghasilkan sebuah teknologi sehingga dengan teknologi itu masyarakat bisa lebih maju atau modern.

2.      Faktor Ekstern
a.       Perubahan alam yaitu meliputi perubahan cuaca atau iklim.
b.      Pengaruh budaya lain, diantaranya penyebaran kebudayaan (difusi), pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya (akulturasi), pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang baru tanpa terlihat budaya yang lama (asimilasi).





















 Penulis



Kiki Rizki Fauzi

5 komentar: