Sejarah
Desa Widarasari
Widarasari
adalah nama sebuah desa yang kental dengan nuansa sejarah peradaban islam, dan juga
sejarah perjuangan penjajahan jepang dan DI TII, konon menurut cerita kesepuhan
mantan pejuang daerah setempat atau sesepuh daerah setempat, Widarasari atau
dulu Cikubangsari karena sekarang sudah menjadi desa pemekaran dulu lebih
dikenal dengan sebutan Desa Cipedes atau Widarasari dan Cikubangsari (gelar
berdasarkan legenda seorang wali asal Cirebon).
Menurut
cerita lain nama Cipedes berasal dari dua kata yaitu Ci yang berarti “air” atau
“Cai” (dalam bahasa sunda) dan pedes yang berarti “pedas” atau dalam bahasa
sunda “lada”. Nama itu konon dahulu pada masa penjajahan jepang diambil dari
sebuah mata air yang ada di daerah tenjo laut (dalam bahasa sunda) wilayah
paling barat desa Widarasari. Konon, mata air itu adalah mata air pedas yang
tidak tahu bagaimana asal usulnya kenapa mata air itu bisa berbeda dengan mata
air yang lainnya. Tetapi, sekarang mata air itu sudah menghilang tidak tahu
bagaimana kejadiannya.
Menurut
cerita lain juga nama Cipedes diambil dari penduduk daerah itu sendiri karena
konon katanya warga masyarakat cipedes jika terjadi suatu masalah atau sedikit
perselisihan di daerah itu warga masyarakat desa setempat suka cepat memanas
bahkan sering terjadi konflik akibat suatu masalah itu, meskipun masalah itu
masalah kecil. Sehingga akhirnya karena perilaku penduduk daerah setempat yang
memiliki watak sperti itu kemudian dipakai menjadi sebuah nama daerah ini atau
cipedes ini. Sampai sekarang warga masyarakat setempat belum tahu bagaimana
latar belakang yang sebenarnya kenapa nama desa ini dahulu diberi nama Cipedes.
Sebab, sesepuh warga daerah setempat ini sudah tua atau bahkan tidak sepenuhnya
ingat tenteng asal usul Desa Widarasari ini yang dahulunya Cipedes. Mungkin,
karena factor usia juga yang menyebabkan sebagian memori ingatannya hilang.
Namun sebagian besar warga daerah/desa setempat lebih membenarkan dengan
keadaan penduduk yang dahulu jika ada masalah kecil warga daerah setempat suka
cepat memanas yang kemudian diambillah nama desa ini dengan nama Desa Cipedes.
Desa
Widarasari ini konon katanya dahulu pernah dilewati oleh salah seorang wali
sanga asal Cirebon yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati konon katanya dia berangkat dari
Cirebon untuk menyebarkan agama islam ke wilayah Kuningan hingga akhirnya
melewati daerah Widarasari ini, dia menyebarkan agama islam dengan melanglang
buana atau berjalan kaki hingga akhirnya Sunan Gunung Djati merasa sangat lelah
yang kemudian beliau beristirahat di sebuah tanjakan yang dahulu dipenuhi
pohon-pohon bambu, beliau beristirahat disana dan membuka perbekalan yang
berisikan daging ayam beserta yang lainnya, hingga akhirnya Sunan Gunung Djati
pun memakan daging ayam itu kemudian setelah selesai memakannya, tulang
belulang ayam itu ditinggalkannya di tanjakan itu, kemudian sampai sekarang
tanjakan itu masih ada dan terkenal dengan sebutan tanjakan tulang hayam (dalam
bahasa sunda).
A. Perkembangan Peradaban Islam
Dahulu
Cipedes (Widarasari & Cikubangsari) ini merupakan sasaran utama penjajahan
jepang dan oknum DI TII karena di Cipedes ini disinyalir sebagai tempat
pengungsian warga desa lain yang paling aman sehingga mereka khawatir akan
terlahir kekuatan yang begitu besar dari daerah Cipedes ini. Kekhawatiran
mereka semakin menguat, karena terbukti puluhan pejuang yang bertugas sebagai
pagar betis di kawasan Gunung Ciremai, ternyata pejuang relawan yang terlatih
yang berasal dari daerah Cipedes. Sejarah peradaban islam pun sangat dominan di
Cipedes, karena menurut cerita kesepuhan, Islam disana lebih dahulu
dibandingkan dengan sebagian besar penduduk kabupaten kuningan, karena Cipedes
mendapat perhatian istimewa dari kesultanan Cirebon. Sehingga diutuslah
beberapa orang ulama berderajat wali untuk membina pesanggrahan Cipedes
sekaligus berdakwah menanamkan benih-benih aqidah islam di Cipedes atau
Widarasari dan Cikubangsari ini.
Perkembangan
islam di daerah Cipedes ini terlihat dengan berdirinya suatu lembaga pendidikan
atau pesanggrahan. Lembaga ini berdiri dan mulai dirintis pada pertengahan
tahun 2001 silam tahun hijriyahnya yaitu 1422 H, atas anjuran sang Guru “K.H.
Yahya Abdul Malik” pada awalnya madrasah ini hanya sebuah lembaga pendidikan
anak-anak Al-Qur’an yang non formal, dan setelahnya ada izin dari sang Guru
maka di bangunlah sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren dengan fasilitas
seadanya Asrama Santri pun sangat sederhana, alasannya di samping dana yang
terbatas juga sengaja untuk mengingat dan merawat budaya tradisional kejawaan,
yaitu “agung dalam kelakuan, sederhana dalam penampilan” yang terpenting ialah
sesuai dengan jalur yang dipakai yaitu “Salafiyah Syafiiyah”. Syafiiyah berarti
kami ahlussunah waljamaah yang bermadzhab syafii, Salafiyah ialah tapaulan dari
kami yakni berharap kepada allah agar diberikan kekuatan dalam mengikuti dan
mengamalkan jalur pendidikan ulama salaf, ulama-ulama terdahulu yang setia
mengikuti sunah rasul dengan sebaik-baiknya niat dan perbuatan. Sehingga
akhirnya lembaga ini masih berjalan sampai sekarang akan tetapi tidak seramai
dahulu santri-santrinya, karena santri-santrinya banyak yang meneruskan
pendidikan ke daerah jawa. Tetapi, santrinya sampai sekarang masih ada meskipun
tidak seramai dahulu. Perkembangan islam di daerah ini atau Cipedes ini juga
terlihat dengan pembangunan banyak mushola atau langgar (dalam bahasa sunda)
yang dilakukan di wilayah ini, dahulu mushola atau langgar di Desa Cipedes ini
amat sedikit itu terjadi karena agama islam masih dalam tahap perkembangan.
Tetapi, sekarang perkembangan itu terlihat pesat karena bnyak sekali mushola
yang ada bahkan setiap kampong sudah memiliki mushola atau langgar. Mushola
atau langgar itu digunakan warga setempat yang ada di sekitar mushola itu untuk
melakukan peribadaha, meskipun ada sedikit yang masih melakukan ibadah di
rumahnya. Namun, setelah adaanya mushola warga setempat lebih memanfaatkannya
untuk ibadah bersama warga sekitarnya. Disamping melakukan ibadah warga sekitar
juga merasakan adanya hubungan silaturahmi yang dekat dengan warga yang
lainnya. Selain banyak dibangunnya mushola di daerah Cipedes ini juga terlihat
perkembangan islam dalam pembangunan Pondok Pesaantren, selain pondok pesantren
di atas, sekarang di daerah Cipedes ini terdapat beberapa Pondok Pesantren lagi
diantaranya Pondok Pesantren Miftahul Falah, dan pondok pesantren pimpinan K.
Uyat Dimyathi yang berada di kampung manis daerah Cipedes ini. Santri-santri
yang ada di Pondok Pesantren Miftahul Falah dulu santrinya datang dari
mana-mana diantaranya dari daerah Cirebon, Cipancur, Darma, dan dari daerah
lainnya. Selain santri-santri belajar mengaji, di Pondok Pesantren yang lainnya
juga terdapat kegiatan lainnya yaitu seperti belajar Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ), kasidah/Genjringan (dalam bahasa sunda), bahkan ada yang mengadakan
kegiatan belajar bela diri atau pencak silat untuk santri-santrinya. Itulah
sedikit perkembangan peradaban islam di Widarasari ini yang terlihat sampai
sekarang.
B. Desa yang dimekarkan
Daerah
Widarasari ini adalah desa yang dulunya bersatu dengan dengan desa Cikubangsari
dengan nama Cipedes. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan Desa Widarasari
berpisah dengan Cikubangsari. Latar belakang yang menyebabkan Desa Cipedes
diganti nama desanya konon menurut sesepuh desa setempat cipedes diganti namanya
karena dahulu jika ada surat dari kabupaten atau pusat pemerintahan atau bahkan
dari luar kota kuningan untuk Desa Cipedes (Cikubangsari dan Widarasari) suka
tertukar untuk Desa Cipedes yang berada di daerah Ciniru, begitupun sebaliknya
jika surat itu ditujukan untuk Desa Cipedes (Ciniru) itu diserahkannya ke Desa
Cipedes (Cikubangsari dan Widarasari) ini. Oleh sebab itu, nama Cipedes ini
diganti menjadi daerah yang sekarang Desa Cikubangsari dan Widarasari.
Sedangkan
latar belakang Desa Widarasari dipecahkan atau berpisah dari Desa Cikubangsari
menurut orang-orang daerah setempat yaitu karena dahulu Desa Cikubangsari
terlalu luas sehingga apabila ada informasi dari Pemerintahan Desa informasi
itu kurang cepat menyebar kepada warga-warga. Kedua, yang melatar belakanginya
yaitu ketika semua warga laki-laki yang akan melaksanakan ibadah shalat jumat
jarak ke masjid Desa terlalu jauh, karena dahulu untuk menuju masjid itu harus
berjalan kaki berbeda dengan sekarang yang sudah banyak alat transportasi. Sehingga
pada akhirnya Desa Widrasari ini berpisah atau dimekrkeun (dalam bahasa sunda)
dari Desa Cikubangsari, itulah latar belakang Desa Cikubangsari dipisahkan
menjadi dua dengan nama yang satu tetap Cikubangsari sedangkan yang kedua
menjadi Desa Widarasari ini.
C. Pemerintahan
Desa
Widarasari dilihat dari statusnya sebagai sebuah desa maka sistem
pemerintahannya dipimpin oleh seorang kepala desa atau lebih dikenal dengan
sebutan kuwu, dengan perangkat lainnya yaitu rurah,ngabihi,sekdes dan yang
lainnya. Suatu Kepala Desa atau kuwu dipilih oleh semua masyarakat yang tinggal
di wilayah atau daerah setempat, pemilihan itu berlangsung seperti
pemilihan-pemilihan lainnya seperti pemilihan bupati, presiden dan yang
lainnya. Kepala Desa akan menjadi pemimpin apabila dalam pemilihan tersebut
sang calon mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat setempat. Desa
Widarasari ini terdiri dari 3 kampung atau blok, diantaranya Kampung Pahing, Kampung Puhun dan
Kampung Manis dan Desa widarasari ini terdiri dari 09 RT. Orang-orang yang
pernah menjabat sebagai Kepala Desa atau kuwu di wilayah ini sebelum
dimekarkan/dipecah dan sesudah dimekarkaan menjadi Desa widarasari ini
diantaranya :
1. Masa
pemerintahan kuwu Masdaer
2. Masa
pemerintahan kuwu Jaya Santana
3. Masa
pemerintahan kuwu Karta Santana
4. Masa
pemerintahan kuwu Syamsuddin
5. Masa
pemerintahan kuwu Suminta
6. Masa
pemerintahan kuwu Supriadi Jaya
7. Masa
pemerintahan kuwu darlan (sekarang)
D. Batas Wilayah
Batas
wilayah Desa Widarasari meliputi :
·
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Sindang barang
·
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa
Cikubangsari
·
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa
Cilaja
·
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Taraju
E. Perekonomian
Sebagian
besar penduduk Desa Widarasari bermata pencaharian sebagai petani, karena
wilayah Desa Widarasari sebagian besar wilayah pertanian dengan bercocok tanam
seperti padi, jagung, sayuran dan yang lainnya. Desa Widarasari ini memiliki
lahan yang sebagian besar tanah atau lahan produktif yang bisa menghasilkan
hasil pertanian yang bagus. Sebagian besar di Desa Widarasari ini memiliki
tanah pertanian miliknya sendiri sehingga bisa mengolah pertaniannya itu.
Namun, petani yang lainnya hanya bertani di tanah atau lahan pertanian milik
orang lain atau di sebut sebagai petani molah (dalam bahasa sunda), petani
molah artinya petani yang bekerja untuk mengurus lahan pertanian milik orang
lain, biasanya pemolah tersebut mendapatkan keuntungan setengahnya dari hasil
pertaniannya itu. Sedangkan sisanya penduduk Desa Widarasari ada yang bekerja
sebagai PNS, pegawai swasta, buruh atau pekerja bangunan, pedagang dan yang
lainnya banyak yang merantau di kota-kota besar. Penduduk yang lain yang
bekerja sebagai buruh bangunan itu karena di Desa ini mereka tidak memiliki
lahan pertanian atau tidak mempunyai keahlian dalam bertani dank arena himpitan
ekonomi mereka memutuskan untuk bekerja menjadi buruh bangunan itu. Sedangkan
yang merantau ke kota-kota besar selain buruh bangunan mereka mencoba
memanfaatkan keahlian mereka untuk bekerja mengadu nasib di kota itu.
F. Perkembangan Kebudayaan di Desa
Widarasari
Desa
Widarasari memiliki budaya yang hampir sama dengan desa-desa lainnya di
kecamatan Kramatmulya yang memiliki budaya antara lain seperti acara tahlilan,
tujuh bulanan, mencukur bayi yang baru lahir, mauled Nabi Muhammad SAW dan
masih banyak yang lainnya, dalam acara mauled nabi sudah terlihat perkembangan
kebudayaan di daerah ini yang dahulu jika acara mauled Nabi setelah bershalawat
warga hanya disediakan makanan seadanya atau alakadarnya. Namun, sekarang
selain disediakan makanan seadanya orang-orang pulangnya diberikan makanan
dalam kantong kresek ataua berkat (dalam bahasa sunda), berkat itu adalah hasil
buatan warga daerah setempat baik itu setiap rumah ada yang membuat 3 bahkan
ada yang membuat bnyak berkat untuk acara mauled Nabi itu.
Perkembangan
kebudayaan lainnya terlihat pada system pertanian yang dahulu orang-orang atau
petani membajak sawah itu menggunakan kerbau, sedangkan sekarang mereka sudah
menggunakan alat modern yaitu mesin traktor. Meskipun ada sebagian penduduk
yang masih menggunakan kerbau, mungkin karena faktor biaya yang harus digunakan
untuk mrnyewa dan membayar traktor itu. Orang-orang dahulu menggunakan lesung
untuk menumbuk atau menghasilkan beras, sekarang sudah lebih modern dengan
menggunakan mesin penggilingan padi. Masih banyak perkembangan kebudayaan
lainnya yang ada di daerah Widarasari ini, perkembangan kebudayaan ini terjadi
karena beberapa faktor dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih yang lebih mempermudah warga untuk melakukan aktifitasnya.
Perkembangan
yang lainnya terlihat pada perubahan penduduk yang menggunakan tungku dan
mencari kayu bakar ke hutan atau bubulak (dalam bahasa setempat), warga Desa
Widarasari menggunakan golok untuk mencari kayu bakar atau untuk menebang pohon
itu. Berbeda dengan sekarang yang sudah mengalami perkembangan, warga daerah
setempat sudaah terlihat menggunakan mesin penebang pohon atau gergaji mesin
untuk mempermudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Faktor-faktor lainnya yang
menyebabkan perkembangan kebudayaan di suatu daerah yaitu diantaranya :
1. Faktor
Intern
a. Perubahan
penduduk
Perubahan penduduk menjadi factor yang
mempengaruhi perkembangan kebudayaan, karena dengan bertambahnya penduduk atau
perubahan penduduk warga daerah setempat juga mempengaruhi perkembangan
kebudayaan di wilayah setempatnya.
b. Adanya
penemuan baru oleh warga masyarakat itu sendiri atau bahkan dari masyarakat
luar yang dulu tidak ada sekarang ada (discovery), penyempurnaan penemuan baru
(invention), dan mengganti budaya yang telah ada (innovation).
c. Konflik
yang terjadi di daerah atau masyarakat itu.
d. Revolusi
atau perubahan secara cepat
Revolusi atau perubahan secara cepat
terjadi di suatu wilayah karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin canggih. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan atau
pemikiran yang tinggi maka tidak mustahil bisa menghasilkan sebuah teknologi
sehingga dengan teknologi itu masyarakat bisa lebih maju atau modern.
2. Faktor
Ekstern
a. Perubahan
alam yaitu meliputi perubahan cuaca atau iklim.
b. Pengaruh
budaya lain, diantaranya penyebaran kebudayaan (difusi), pembauran antar budaya
yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya (akulturasi), pembauran antar
budaya yang menghasilkan budaya yang baru tanpa terlihat budaya yang lama
(asimilasi).
Penulis
Kiki Rizki Fauzi
Makasih kak sangat membantu untuk tugas saya
BalasHapusSudah selayaknya kita bangga dengan tanah kelahiran kita.
BalasHapuspenasaran sama desa ini...suatu saat mesti kesana :)
BalasHapusTerimakasih sangat membantu
BalasHapusIni desa saya
BalasHapus